Hai Kau gadis berkerudung biru,
kau terduduk di Surau
Ku panggil dengan suara parau
Saat Menunggu dulang sebutir nasi
Tuk hadir Di depan ibuku
Sepertinya kau tahu maksudku melamarmu,
Namun maukah kau dengarkan aduan hatiku?
Saat ku masih mencari mu kesana dan kemari,
Tersesat hilang saat pandemi mencabik ibu pertiwi,
Tak kah kau lihat turut terhuyung
terseraknya hanya hati ini
Tetapi juga sepiring nasi para rakyat petani
Saat kau bangun, tidakkah kau nanar melihat embun pagi
Saat kau beradu dengan senja, sunyi hanyut terdiam dalam tak pasti.
Teringat senda gurau saat kami menjadi negeri yang cantik,
Anggun berbudaa dan berbangsa
Namun tak kah kau dengar , Teriakan orang pulau atas negeri yang tak adil
Penguasa ricuh mengambil andil
namun acuh terhadap yang segelintir
Regasnya kasih menjadi sebab sedikitny golongan yang peduli rakyat kecil
Kami tahu, kami harus belajar benar-benar menutupi dada yang gosong
karena luka, dari kenyataan atau dari perasaan
Kami tahu, kami harus belajar menjadi jati diri yang terpasung kekuasaan
Disaat ini wahai sayangku,
Tepis air matamu,
Jadikan lah janji kita bersama untuk mengawal demokrasi
Agar tetap menjadi pegangan negeri
Duhai Ibu Pertiwi
Kami dengar sedu sedan mu
Apakah pijakanmu sudah merapuh
Apakah langkahmu sudah mengabur
Apakah perjuanganmu sudah menjadi kenangan
Ah, jangan bercanda
Pesonamu masih terpancar
Disatu titik tak kasat mata
Saat mentari tak lagi ramah, maka hendak kemana bangsa ini berpijak.
Saat kakiĀ² sang penguasaan terhimpit, kemana lagi rakyat harus mengadu
Salamku, Wahai Sang Penguasa, Ingatlah Surau dan Sebutir Nasi.
Sajak ini di tulis oleh Para Ketua di PPI kawasan Amerika Eropa, : Puspita (PPI Swiss Liechtenstein) , Brimoresa (PPI Spanyol), Choirul Anam (Ceko) , Khairul anam (PPI Austria), Zulkifli (PPI Poland), Radityo (PPI Estonia), Wisnu Uriawan (PPI Prancis)